Jenada tiba-tiba terdiam seperti patung, ketika seseorang memanggilnya dengan lantang. Dibalikannya badan Jenada dan dia pun terkaget seperti tertembak oleh prajurit Israel yang sedang perang. "Jenada jangan tinggalkan aku! Jenada aku mohon padamu" kata sesosok pria gagah yang muncul dari kegelapan yang tersembunyi.
Suasana pun menjadi hening, langkah yang cepat kini berubah menjadi jejak kaki yang semakin perlahan-lahan melambat. "Kenapa kamu mencoba menghindar dariku?" kata pria tersebut.
Jenada adalah seorang gadis desa yang mempunyai hati selembut kapas putih, berparaskan kecantikan abadi yang tidak ada bandingannya tetapi hanya dua kekurangnya yaitu Jenada mempunyai tubuh yang gemuk dan latarbelakang keluarga Jenada hanya berprofesi sebagai penjual buah apel merah. Setiap hari Jenada selalu membantu ayahnya untuk menjualkan buah apel merah ke penduduk desa. Sepulang dari membantu sang ayah Jenada membantu sang ibu ke kebun apel.
Suatu hari Jenada mendapat kabar dari tetangga nya kalau sang ayah tergeletak di pinggir sungai saat ingin melewati sungai tersebut. Pada saat itu Jenada sedang mencoba menjual apel merah itu ke istana megah dekat desa yang dia tempat sampai sekarang. Tanpa berpikir panjang Jenada bergegas untuk melihat sang ayah. Muka putih yang berparaskan kecantikan itu berubah menjadi merah seperti apel merah yang dia bawa. Jenada menangis melihat keadaan sang ayah yang terkapar lemah tak berdaya di atas tikar bambu. "Jenada, anakku tersayang janganlah menangis. Aku tidak menyukai peri kecilku mengeluarkan air mata seperti ini" kata sang ayah. Sambil terus memegang tangan sang ayah, Jenada menahan tangisannya agar tidak tampak di depan sang ayah.
Saat itu ada seorang pangeran yang begitu gagah dan mempunyai rupa yang sangat tampan berkelana di dekat pedesaan tempat Jenada tinggal. Sang pangeran mencari-cari buah apel merah yang terkenal akan kelezatan dan kemanisan dari buah tersebut. Sang pangeran menyuruh para prajurit untuk menanyakan kepada warga setempat dimanakah letak rumah si penjual apel merah tersebut, setelah mendapatkan informasi tersebut bergegas lah sang pangeran menunggangi kuda putih tersebut menuju rumah Jenada. Tanpa Jenada ketahui ada seorang pangeran yang ingin menuju ke rumahnya, saat itu Jenada sedang termenung memikirkan penyakit yang diderita oleh sang ayah.
Jenada menangis tersedu-sedu, tanpa Jenada sadari sang pangeran melihatnya menangis. Sang pangeran pergi menghampiri Jenada "kenapa engkau terlihat sedih sekali, ada apa gerangan? Gadis cantik sepertimu tidak boleh bersedih." kata sang pangeran sambil mengahapus air mata di kedua pipinya. Terlihat sekali Jenada memendam rasa malunya. Jenada mengetahui bahwa Ia adalah seorang pangeran dari istana megah yang ada di dekat desanya, dengan rasa hormat Jenada mempersilahkan sang pangeran untuk masuk ke dalam rumah nya yang begitu sempit dan kecil itu. "Siapa nama adinda? Bolehkah saya tahu?" sang pangeran bertanya. "Nama saya Jenada pangeran" jawabnya. Dalam pikiran sang pangeran begitu cantik dan sopannya Jenada. Pandangan pertama membuat sang pangeran mulai merasakan bunga-bunga di dalam hatinya. Begitu pun sebaliknya dengan isi hati Jenada. "Ada apa gerangan pangerang datang kerumah saya? Adakah maksud tertentu pangeran?" tanya Jenada. "Jenada, aku ingin membeli apel merah yang engkau jualkan itu." jawab sang pangeran. Dengan cepat Jenada membawa beberapa kantung apel merah yang diinginkan sang pangeran. Jenada lagi-lagi termenung dan tiba terdiam. "Jenada ada apa denganmu?" tanya sang pangeran. "Tidak pangeran, terimakasih telah mau membeli apel merahku ini" jawab Jenada dengan senyuman manisnya yang selalu diingat oleh sang pangeran.
Keesokan harinya sang pangeran diam-diam datang untuk melihat Jenada dari kejauhan. Sang pangeran sangat terpukau oleh kebaikan hati Jenada dan wajah cantik nya. Sang pangeran tidak pernah memandang fisik atau pun harta yang dimiliki Jenada. Jenada pun masih teringat akan paras tampan yang dimiliki sang pangeran. Keduanya sedang dalam pengaruh aroma cinta. Jenada sangat mencintai sang pangeran, dia pun berharap sekali akan dipertemukan lagi oleh sang pangeran. Tetapi Jenada merasa sangat kurang percaya diri akan tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya yang sangat gemuk membuatnya sangat merasa kekuarangan.
Suatu hari Janeda mendapatkan surat undangan dari istana kerajaan. Disitu tertulis Janeda aku harap engkau datang ke acara dansa ku malam ini, akan ada kereta kuda yang aku utus untuk menjemputmu dan jangan lupa untuk mengenakan gaun yang aku bawakan ini untukmu (Pangeran). Jenada pun merasa sangat senang lalu dia menceritakan kepada kedua orang tuanya. Sang ayah yang masih terbaring pun merasa sangat bahagia melihat putrinya bahagia. Malam hari pun sangat cepat menyambut Jenada. Begitu cantik saat Jenada menggunakan gaun yang diberikan oleh sang pangeran. Sesampainya kereta kuda yang membawa Jenada ke istana, begitu terpukaunya sang pangeran melihat Jenada berjalan memasuki istana yang didalamnya penuh dengan perempuan cantik dan kaya. Jenada terlihat sangat malu, lalu sang pangeran mengajaknya berdansa dan sang pangeran mengenalkan Jenada kepada para tamu perempuan yang lainnya. Tetapi ada perkataan yang membuat Jenada harus meninggalkan istana tersebut dengan wajah sedih. "Hei Jenada, seharusnya engkau memperhatikan bentuk tubuhmu itu saat berjalan bersama sang pangeran. Tidak kah kau sadar bentuk tubuhmu itu seperti seorang pembantu istana." kata salah seorang tamu perempuan. Tanpa berpikir panjang Jenada pun pergi meninggalkan sang pangeran dan menangis sepanjang jalan. Jenada berjalan sangat cepat dan terus memasuki hutan yang terkenal akan gelapnya. Jenada terkaget-kaget kenapa dia bisa masuk kedalam hutan ini. Tiba-tiba saja sang pangeran muncul dan menyuruh Jenada berhenti. "Jenada aku tidak mempedulikan tentang fisik dan hartamu, yang aku inginkan hanyalah kamu dan cintamu yang putih seperti hatimu".
^ Selesai^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar