Pada mulanya
jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif saja. Itu terbukti
pada Acta Diurna sebagai produk jurnalistik pertama pada zaman Romawi Kuno,
ketika kaisar Julius Caesar berkuasa.
Sekilas tentang
pengertian dan perkembangan jurnalistik, Assegaff sedikit menceritakan sedikit
sejarah. Bahwa jurnalistik berasal dari kata Acta Diurna, yang terbit di zaman
Romawi, dimana berita-berita dan pengumuman ditempelkanatau dipasang di pusat
kota yang di kala itu disebut Forum Romanum. Namun asal kata jurnalistik adalah
“Journal” atau “Du jour” yang berarti hari, di mana segala berita atau warta
sehari itu termuat dalam lembaran tercetak. Karena kemajuan teknologi dan
ditemukannyapencetakan surat kabar dengan system silinder (rotasi), maka
istilah “pers muncul”, sehingga orang lalu mensenadakan istilah “jurnalistik”
dengan “pers”.
Sejarah yang
pasti tentang jurnalistik tidak begitu jelas sumbernya, namun yang pasti
jurnaliatik pada dasarnya sama yaitu diartikan sebagai laporan. Dan dari
pengertian ada beberapa versi. Kalau dalam dari sejarah Islam cikal bakal
jurnalistik yang pertama kali didunia adalah pada zaman Nabi Nuh.
Suhandang dalam
bukunya juga menerangkan sejarah Nabi Nuh teerutama dalam menyinggung tentang
kejurnalistikan. Dikisahkan bahwa pada waktu itu sebelum Allah SWT menurunkan
banjir yang sangat hebatkepada kaum yang kafir, maka datanglah maiakat utusan
Allah SWT kepada Nabi Nuh agar ia memberitahukan cara membuat kapal sampai
selesai. Kapal yang akan dibuatnya sebagai alat untuk evakuasi Nabi Nuh beserta
sanak keluarganya, seluruh pengikutnya yang shaleh dan segala macam hewan
masing-masing satu pasang. Tidak lama kamudian, seusainya Nabi Nuh membuat
kapal, hujan lebat pun turun berhari-hari tiada hentinya. Demikian pula angin
dan badai tiada henti, menghancurkan segala apa yang ada di dunia kecuali kapal
Nabi Nuh. Dunia pun dengan cepat menjadi lautan yang sangat besar dan luas.
Saat itu Nabi Nuh bersama oranng-orang yang beriman lainnya dan hewan-hewan itu
telah naik kapal, dan berlayar dengan selamat diatas gelombang lautan banjir
yang sangat dahsyat.
Hari larut
berganti malam, hingga hari berganti hari, minggu berganti minggu. Namun air
tetap menggenang dalam, seakan-akan tidak berubah sejak semula. Sementara itu
Nabi Nuh beserta lainnya yang ada dikapal mulai khawatir dan gelisah karena
persediaan makanan mulai menipis. Masing-masing penumpang pun mulai
bertanya-tanya, apakah air bah itu memang tyidak berubah atau bagaimana? Hanya
kepastian tentang hal itu saja rupanya yang bisa menetramkan karisuan hati
mereka. Dengan menngetahui situasi dan kondisi itu mereka mengharapkan dapat
memperoleh landasan berfikir untuk melakukan tindak lanjut dalam menghadapi
penderitaanya, terutama dalam melakukan penghematan yang cermat.
Guna memenuhi
keperluan dan keinginan para penumpang kapalnya itu Nabi Nuh mengutus seekor
burung dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya
makanan. Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan
kian kemari mencari makanan, tetapi sia-sia belaka. Burung dara itu hanya
melihat daun dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke permukaan
air. Ranting itu pun di patuknya dan dibawanya pulang ke kapal. Atas datangnya
kembali burung itu dengan membawa ranting zaitun. Nabi Nuh mengambil kesimpulan
bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan bumi masih tertutup
air, sehingga burung dara itu pun tidak menemukan tempat untuk istirahat
demikianlah kabar dan berita itu disampaikan kepada seluruh anggota
penumpangnya.
Atas dasar fakta
tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari berita
dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama kali di dunia. Bahkan sejalan dengan
teknik-teknik dan caranya mencari serta menyiarkan kabar (warta berita di zaman
sekarang dengan lembaga kantor beritannya). Mereka menunjukan bahwa
sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia adalah Kapal Nabi Nuh.
Data
selanjutnya diperolah para ahli sejarah negara Romawi pada permulaan berdirinya
kerajaan Romawi (Imam Agung) mencatat segala kejadian penting yang diketahuinya
pada annals (papan tulis yang digantungkan di serambi rumahnya). Catatan pada
papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan
memerlukannya.
Pengumuman
sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya. Caesar
mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari,
peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui
rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis pada
masa itu. (60 SM) dikenal dengan acta diurna dan diletakkan di Forum Romanum
(Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Terhadap isi acta diurna tersebut
setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya untuk kemudian
disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.
Baik hikayat
Nabi Nuh menurut keterangan Flavius Josephus maupun munculnya acta diurna belum
merupakan suatu penyiaran atau penerbitan sebagai harian, akan tetapi jelas
terlihat merupakan gejala awal perkembangan jurnalistik. Dari kejadian tersenut
dapat kita ketahui adanya suatu kegiatanyang mempunyai prinsip-prinsip
komunikasi massa pada umumnya dan kejuruan jurnalistik pada khususnya. Karena
itu tidak heran kalau Nabi Nuh dikenal sebagai wartawan pertama di dunia.
Demikian pula acta diurna sebagai cikal bakal lahirnya surat kabar harian.
Seiring
kemajuan teknologi informasi maka yang bermula dari laporan harian maka
tercetak manjadi surat kabar harian. Dari media cetak berkembang ke media
elektronik, dari kemajuan elektronik terciptalah media informasi berupa radio.
Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul pula terobosan baru
berupa media audio visual yaitu TV (televisi). Media informasi tidak puas hanya
dengan televisi, lahirlah berupa internet, sebagai jaringan yang bebas dan
tidak terbatas. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi telah melahirkan
banyak media (multimedia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar